Gue udah merasa suka film ini sejak 10 menit pertama. Yap, adegan opening George mengendarai sepeda motor di keramaian kota London dengan diiringi soundtrack musik rock-reggae khas 70-an itu berhasil menarik minat gue. Disini sepertinya Jorge hendak menyampaikan opininya tentang masyarakat-kota.
Cek aja, Ada shot keramaian kota London yang 'ramai tapi sepi', asap knalpot, polusi pabrik-pabrik, public space yang udah ter-occupied ama papan reklame, sampah, lalu ada shot bangkai burung tergeletak di pinggir jalan, pejalan kaki yang menutupi wajahnya dengan masker, seorang sakit yang sedang menenggak pil, kerumunan calon penumpang di terminal, penumpang2 bus yang berjubelan dengan wajah kosong/lelah ( sama kaya zombie ), dan kemudian gue dikejutkan oleh adegan ini : seorang perempuan tiba-tiba melepaskan bajunya, lalu berlari-telanjang menyeberang jalan. Wtf!, gue kaget tapi orang-orang dalam adegan ini digambarkan tidak menghiraukan aksi itu. mereka terlalu lelah/sibuk untuk mempedulikannya. Wow..big city is a real city of the living dead?? mereka emang hidup tapi kesibukan dan kerja membuat mereka terlihat 'mati'. Mungkin itu yang pengen Jorge opinikan :) Jleb! ga jauh beda ama gue yang udah 'mati' karena lebih sering jadi zombie di depan komputer hehe RRRHH im a zombie! brraiiinsss.....
Menit berikutnya, Jorge Grau malah ngasih sensasi yang kontras ama scene kota London tadi. Dia mulai meng-ekspos keindahan kota kecil Inggris dengan bukitnya yang hijau menyegarkan, ha, ini ngingetin gue ama gambar bukit-hijau 'Bliss' di salah satu wallpaper/theme nya Windows XP. Dan hanya karena ini saja gue udah menggumam dalam hati : "film ini keren."
40 menit awal berikutnya, dipake Jorge buat ngenalin dan membangun karakter tokoh-tokoh dalam usahanya membuat penonton peduli dan mengantisipasi apa yang akan terjadi kemudian. Dan dia berhasil. Terutama berkat dukungan para cast nya yang berakting sangat baik. Arthur Kennedy mencuri perhatian dengan perannya sebagai polisi menyebalkan, Ray Lovelock meyakinkan sebagai pemuda hippies-kritis yang rada brengsek, dan Cristina Galbo sekarang menjadi salah satu cewe yang masuk list favorit 'screen-screaming-queen' versi gue. Dan berkat perannya disini, Cristina ( yang juga sering maen di pelem2 Giallo ) akhirnya mendapat penghargaaan best-actress di sebuah festival. Dengan cast solid seperti itu, adegan intriguing-suspenseful yang dibalut ama dialog-dialog kocak-renyah kemudian digulirkan Jorge untuk menghindarkan penonton jatuh pada kebosanan. Dari sini tensi film sedikit demi sedikit mulai merambat naik.
Sampai akhirnya mulai menit 50 sampe abis, film berubah drastis dari suspense menjadi horror-survival-scifi-zombie yang intense dan menyenangkan buat ditonton. Jorge mulai ngasih apa yang para guts-lover tunggu dari tadi. walaupun emang level gory dalam film ini nggak pernah nyampe ke level splatter ala Fulci ( dan keliatannya Jorge juga nggak pengen membuat filmnya ke arah situ ), tapi film ini mempunyai adegan yang dikenal sebagai adegan 'breast-ripping'. Sebuah adegan yang cukup eksplisit, dimana zombie-zombie itu menggrauk ( bahasa apaan tuh? haha ) payudara seorang resepsionis rumah sakit. Haha Dan masih banyak lagi seperti leher yang ditusuk, organ tubuh yang dimakan beramai-ramai sampe zombie yang terbakar dll. Sementara adegan terakhir di rumah sakit itu juga jelas influence besar untuk Lucio Fulci's The Beyond dan Stuart Gordon's Re-Animator .
Ngomong-ngomong soal zombie, zombie dalam film ini punya beberapa keunikan :
- Walau kepalanya ditembak, dia nggak bakalan mati ( para protagonis kita akhirnya menemukan cara buat melumpuhkannya : dibakar! haha )
- Mayat-mayat itu akan bangkit lagi setelah terkena gelombang radiasi ultrasonik atau mendapat transfer radiasi dari zombie lainnya. ( jadi bukan oleh gigitan ).
- Zombie disini bertenaga kuat dan cukup pintar untuk menggunakan nisan kuburan sebagai senjata. Haha
- Slow-moving, berwajah datar ( tidak menyeringai ), diam ( tidak mengeluarkan suara ) dan mempunyai tatapan kosong.
Namun, walau ini film tentang flesh-eater-zombie gue ngerasa kalo real-villain dalam film ini justru si sersan polisi yang menyebalkan itu. Dia sok tahu, rasis, terlalu menghakimi, konservatif, dan keras kepala. Dalam sebuah film, kamu pasti mengharapkan hal-hal buruk menimpa karakter seperti ini. Itu makanya sinetron bisa nyampe puluhan episode, soalnya produsernya tau penonton menunggu pemeran yang suka melotot dan menempeleng itu mendapat balasannya hehe
Dalam film ini, kamu nggak perlu menunggu sampai puluhan episode dan akan mendapatkan 'kepuasan' itu di menit-menit akhir. it's time to zombie-revenge! Ups, spoiler ya? *peace :D Ya, film ini diakhiri oleh ending yang mengejutkan dan menarik hehe
Satu poin plus lagi, horror berdurasi 93 menit ini di dukung oleh backsound/scoring-music yang sangat efektif. Jorge Grau sendirilah yang membuat scoring mirip gelombang suara/lenguhan nafas itu. Dan dia berhasil menciptakan 'sound of the dead' yang mendukung adegan dan keseluruhan ide cerita.
Sekarang, dengan semua opini positif yang gue tulis diatas, gue heran film ini ternyata jarang disertakan dalam list film zombie favorit para horror-fan. Kenape ye?
Analisa gue sih mungkin karena film ini terlalu suspense+stlylish buat penggemar zombie-splatter atau sebaliknya terlalu gory+eksploitatif buat penggemar suspense-scifi. jadi nanggung-nanggung gitu.Atau kemungkinan lainnya adalah karena film ini mempunyai alternate-title yang banyak sekali. gue itung-itung di IMDB sampe 17 judul haha. Lain negara yang mengedarkan, lain pula judulnya. Anchor Bay sendiri beberapa tahun lalu merilis versi DVD film ini dengan judul 'Let's Sleeping Corpses Lie', di IMDB film ini ditemukan dengan judul 'Don't Open the Window' , dan apakah kamu mencari-cari film 'Zombie 3?' Ga usah bingung, karena 'Zombie 3' adalah film ini, atau jangan-jangan kamu sudah nonton film ini tapi dengan judul yang beda? coba cek 14 judul lainnya haha. Nah, mungkin judulnya yang banyak itu membuat film ini jadi gampang buat dilupain. Istilah cepet : nggak nancep di kepala.
Final verdict, nggak adil rasanya kalo membandingkan film ini ama film kelas A, ini tetep B-movie ringan yang buat beberapa audiens non-horror sering dibilang meaningless-garbage. Namun buat horror-fan seperti gue, di genre-spesifik nya, 'The Living Dead At The Manchester Morgue' ( or whatever title ) adalah sebuah 'permata'. Nggak sempurna tentu aja, ada plot hole dan kekurangan disana-sini, tapi dari semuanya, yang paling membuat gue respek adalah,
film ini punya style dan karakter yang kuat. Orang yang membuatnya berani untuk tidak menjadi George Romero atau Lucio Fulci, 'he's not wannabe', dia adalah Jorge Grau dan ini filmnya. Kita tahu, sesuatu yang berkarakter itu biasanya akan menjadi influental. dan itu keren. heheJorge juga berhasil memasukkan beberapa 'muatan-kritis' tanpa terlihat preachy tentang pemikiran konservatif orang tua melawan semangat & pemikiran baru generasi muda ( di simbolkan oleh karakter polisi dan pemuda hippies ) juga isu tentang lingkungan hidup seperti yang tertulis dalam salah satu taglinenya :
dan yang terpenting, 'The Living Dead At The Manchester Morgue' nggak pernah lupa kalo dia tetep sebuah hiburan dan mempunyai sederet momen-momen memorabelnya.
jadi, tanpa ragu film ini jelas akan masuk dalam daftar kult-klasik versi subyektif gue. Hehe.
0 comments:
Post a Comment
Harap berkomentar yang sopan