
......................................................
Kayaknya udah bukan rahasia lagi, kalo Alexander Aja adalah sutradara horror favorit saya setelah Wes Craven [The Hills Have Eyes, Nightmare on Elm Street, Scream] dan posisinya setara ama Eli Roth [Cabin Fever, Hostel]. Nggak tau deh, tapi saya lebih seneng sama Aja. Dalam beberapa hal Aja lebih superb daripada Roth. Adegan2 sadis yg ditampilin dalam film2nya tuh begitu menggelora dan berhasil menciptakan thrilling continuity yg berakibat ledakan endorphin di seluruh tubuh. Konklusinya, kepuasan orgasmik bagi horror movie buffs, hingga di detik terakhir. Menjadikan film2 Aja tuh nggak cuman sekumpulan gory-scenes biasa, melainkan punya level ketegangan di atas rata-rata dan tetep berkelas. Ini kayaknya jadi alesan yg lebih dari cukup kenapa saya selalu ngikutin film2nya yg lain: remake The Hills Have Eyes dan Mirrors. Untuk ukuran film2 horror, nggak ada satupun film2 Aja yg [menurut saya] bisa dibilang jelek. Jelek pake tanda kutip dan jelek dalam arti sebenernya. Ngerti kan maksud saya?
Oke, kita mulai dari ceritanya dulu deh. Dibuka dengan suara lenguhan laki2 yg sedang diberi oral sex dalam sebuah truk rombeng, namun berakhir dengan ketidakpuasan dan dibuangnya potongan kepala si ‘pemberi jasa’ keluar jendela, kita langsung tau, maniak ini pastilah membutuhkan korban segar. Fresh meats itu tentu saja dua tokoh utama kita, Mari [Cecile de France] dan Alex [Maiwenn Le Besco], dua orang sahabat yg lagi mutusin untuk ngabisin libur kuliah di rumah orang tua Alex di daerah pertanian yg cukup terpencil. Nggak nyampe 20 menit pertama, kita langsung tau kalo Mari—yg mungkin tanpa kebetulan berperawakan atletis dan berambut cepak, sekilas kalian bakal ngira dia seorang calon polwan—adalah seorang lesbian, melalui adegan masturbasi yg [sialnya] nggak vulgar, tapi berhasil bikin saya menggigit bibir. Hehehe.
Malam yg harusnya tenang itu dirusak dengan kedatangan seorang laki2 nggak dikenal yg gemuk dan jelek—dengan napas yg selalu memburu tiap ngeliat cewek cakep, sangat memenuhi kriteria ‘fat pig’ dalam kepala kalian—yg tanpa motif apapun membantai seluruh keluarga Alex—mulai dari bokap, nyokap, adeknya yg masih kecil sampe anjingnya segala—melalui cara-cara yg mungkin selama ini nggak pernah ada dalam imajinasi kita. Si pembunuh tampaknya emang punya niat tersendiri dengan mutusin nggak ngebunuh Alex, melainkan menyekap dan menculiknya di dalam truk rombengnya dan lalu meluncur entah ke belahan bumi bagian mana. Menyisakan Mari yg harus berjuang untuk mengejar pembunuh yg menyandera sahabatnya, sekaligus menyelamatkan dirinya sendiri. Dari situ, praktis dialog antar aktor-aktrisnya terhenti, dan dimulailah permainan kucing-kucingan terhebat dalam sejarah film horror yg sukses bikin jantung saya berdegup kencang selama 1 jam berikutnya. Ditutup dengan twisted ending yg cantik, bakalan bikin kamu tersedak dan berteriak “What the FUCKKK???” dengan penuh emosi.

Berita baik untuk kalian para psychos! Film ini nampilin berbagai cara dan eksploitasi pembunuhan yg menurut saya kreatif, namun tetep manjain selera old-school kalian! Di adegan awal, diliatin gimana si pembunuh misahin kepala bokap Alex dari tubuhnya dengan menggunakan lemari. Kedengeran aneh? Kalian harus tonton sendiri biar percaya, dijamin bagian yg itu bakal nempel terus di benak kalian! Hehehe. Lalu menggorok tenggorokan dengan pisau cukur dan menarik kepala yg udah putus itu—eyuuhh—tampak begitu nyata dan menyakitkan. Catat, film ini dibuat sebelum Tim Burton ngerusak imej-kengerian-pisau-cukur dengan proyek musikalnya yg lagi2 dibintangin oleh si Michael Jackson yg terjebak dalam style Keith Richards [baca: Johnny Depp] melalui Sweeney Todd. Nggak cuman itu, kalian masih bakal nemuin tangan yg dipotong sampe putus, kapak yg nancep di dada orang, pecahan kaca super-gede yg ‘nyungsep’ di kaki, muka remuk karena digebukin pake kayu yg udah dililit kawat-duri, dan terutama serangan gergaji mesin yg memporak-porandakan kaca mobil—berikut, ehem, sopirnya—jadi berkeping-keping. Intinya, organ tubuh manapun yg bisa berdarah, dibikin berdarah di film ini. Bahkan ada juga kekerasan terhadap anak di bawah umur yg dilakuin dengan mengarahkan shotgun ke kepala dan meledakkannya dalam beberapa detik berikutnya. Lengkap dan total messed up! Dan kalo berbagai tampilan gore dan mengerikan itu terlihat begitu indah, silahkan berterima kasih pada Gianetto De Rossi—master of make-up artist untuk masterpiece Lucio Fulci, Zombie—yg udah direkrut Aja untuk film ini.

Karakter film ini sesuai sama apa yg saya pengen selama ini: plot yg simpel dan straightforward, minim dialog, berdarah-darah, nggak kenal ampun, nggak ada lelucon apalagi kelucuan, dan pembunuh yg terlihat kayak manusia biasa dan nggak ngerasa perlu untuk bersembunyi di balik topeng aneh macem apapun namun bener2 nggak bisa di-stop dan jago banget bikin keputusan2 cerdas, bikin Jason dan Myers jadi keliatan—well—konyol. Very vicious.
Dan sebagai penghormatan kepada classic slasher of 70’s, semua peralatan yg pernah kamu temui di film horror praktis dihadirkan di layar dan digunain untuk ngabisin tokoh2 nggak penting kita, mulai dari pisau cukur, pisau gede tukang jagal, shotgun, kapak, gergaji mesin. You name it. Saya nemuin banyak lobang di plot-nya, tapi ini nggak jadi masalah sama sekali karena semua lobang itu udah diisi dengan intensitas [baca: ketegangan] yg rapat dan dengan teganya ngebiarin saya yg terterror secara psikis ini untuk ngatur napas berkali-kali. Aja kayaknya emang nggak ngerti arti kata ‘limit’ dan berbarengan dengan itu, dia udah dengan pinter ngedefinisiin apa itu ‘tensi tinggi’, kayak yg udah dengan songongnya dia pake untuk judul film.
Well, dari departemen sinematografis, sebenernya saya nggak terlalu terpesona dengan pendekatan yg dikasih Aja di film ini: tone warna yg kebiru-biruan, atmosfer yg kerasa janggal dan cita rasa yg terlalu artistik untuk tata cahaya dan properti yg dipake, tapi dengan berbagai scene yg sukses bikin saya terkagum-kagum karena sangat cerdik—beberapa sangatlah tricky sekali—mulai dari adegan paling awal sampe yg paling terakhir, membuat saya nggak heran kalo film ini jadi kesayangan fans fanatik film slasher sedunia.

Film ini dibikin [ato beredar ya?] taun 2004 dan dateng di saat yg tepat, ketika hati saya gagal bergetar meskipun udah nonton serentetan film2 yg gosipnya sih jadi 70’s horror revivals, macem Wrong Turn atau remake The Texas Chainsaw Massacre. Tapi, kekecewaan itu luntur ketika film slasher udah berhasil dibenerin dan dikembaliin ke tempat yg seharusnya oleh Haute Tension, melalui cara yg brutal, menyenangkan dan [herannya] romantis!
Beberapa temen saya kelihatan kesal setelah nonton film ini karena ending yg sama sekali nggak pernah mereka harepin nongol dalam film slasher. Tapi saran saya, mungkin kalian perlu nonton film ini 2 kali dan hati-hati supaya ngeh kalo film ini punya 2 prasyarat wajib yg bisa ngidupin term ‘horror classic’: suspense ala thriller dan kejahatan yg brutal. Mengherankan film slasher terbaik dan paling stylish yg saya tonton di awal 2000an ini justru berasal dari negara yg punya sensor ketat terhadap kekerasan [tapi tidak dengan nuditas], yaitu Perancis.
Untuk para pemainnya, saya cuman mau bilang kalo Cecile de France dan Maiwenn Le Besco, sangatlah bloody hot as hell! Akting keduanya nyaris sempurna dalam menebarkan terror psikis dengan mimik wajah dan bahasa tubuh yg teramat meyakinkan. Kredit khusus saya berikan pada the gorgeouusssss Cecile de France, yg udah meranin jagoan kita tanpa embel-embel superwoman dan selalu ngingetin kita kalo dia sebenernya cuman cewek biasa yg harus berjuang antara hidup dan mati ngelawan si brutally-fashioned-killer kita.
Satu hal lagi yg membuat film ini memenuhi standar ‘keren’ versi saya adalah hadirnya lagu Muse dan Sonic Youth di dalamnya :D. Word!
Gory, crazy, bloody, crafty. This is absolutely the best horror movie I’ve seen in the last decade! Kalian pecinta film horror—brutal gore fest with style—kalian pasti jatuh cinta dengan film ini!
0 comments:
Post a Comment
Harap berkomentar yang sopan